Pada suatu hari, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk bermajelis bersama para shahabatnya dan memberikan pelajaran kepada mereka. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ؟
“Perhatikanlah (wahai para shahabat), maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Kemudian para shahabat mengatakan: “Tentu wahai Rasulullah.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menerangkan:
الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ أَوْ قَوْلُ الزُّوْرِ.
“(Dosa-dosa yang paling besar itu adalah) syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, dan persaksian palsu (perkataan dusta).” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu )
Itulah sepenggal kisah bagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membimbing dan mengajarkan ilmu agama ini kepada para shahabatnya. Beliau adalah seorang yang sangat bersemangat dalam mengajarkan segala permasalahan agama ini kepada umatnya.
Beliau mengajarkan kebaikan agar umatnya melakukan kebaikan tersebut. Dan beliau juga menerangkan beberapa bentuk kejelekan agar umatnya menjauhi kejelekan tersebut.
Dalam hadits tersebut, secara khusus Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan sekaligus memperingatkan beberapa bentuk perbuatan dosa yang paling besar. Betapa pentingnya peringatan tersebut sampai-sampai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Perbuatan-perbuatan itu adalah:
1. Syirik kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Para pembaca yang dimuliakan Allah ‘Azza wa Jalla, Allah ‘Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Tunggal, Dialah satu-satunya yang menciptakan alam semesta ini, Dialah satu-satunya Dzat yang memberi rizki kepada seluruh makhluk-Nya, dan Dialah satu-satunya yang mengatur alam semesta ini. Maka dari itulah, Allah ‘Azza wa Jalla adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi, ditujukan kepada-Nya segala macam permintaan dan do’a, dimintai rizki, dimintai pertolongan dan perlindungan.
Sangatlah tidak pantas jika seorang hamba beribadah kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, memohon dan meminta kepada makhluk dengan permintaan yang tidak mungkin bisa dipenuhi kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla saja, seperti rizki, keselamatan, atau menyandarkan nasib hidupnya kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla.
Maka sangatlah tepat ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memposisikan syirik ini sebagai dosa yang paling besar, karena seorang yang berbuat syirik berarti dia telah berbuat lancang dan melampaui batas terhadap Penciptanya. Menjadikan tandingan / sekutu bagi Allah ‘Azza wa Jalla, padahal Allah ‘Azza wa Jalla adalah Maha Tunggal dan tidak ada sekutu baginya. Sungguh ini adalah kezhaliman yang sangat besar sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla firmankan (artinya):
“Sesungguhnya kesyirikan merupakan kezhaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Betapa zhalimnya ketika seorang muslim menyembelih hewan untuk kemudian dipersembahkan kepada makhluk yang diyakini memiliki kekuatan sehingga dia akan terhindar dari bencana, padahal Allah ‘Azza wa Jalla lah satu-satunya Dzat yang mampu untuk mendatangkan bencana.
Dan betapa zhalimnya ketika seorang muslim meminta-minta keselamatan dan rizki yang lancar kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal di samping kuburannya, padahal Allah ‘Azza wa Jalla sajalah yang mampu untuk memberikan keselamatan dan rizki kepada makhluk-Nya.
Oleh karena itulah ketika shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ ؟
“Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?”
Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ.
“Engkau menjadikan tandingan bagi Allah (menyekutukan Allah) padahal Allah lah yang telah menciptakanmu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Ketika syirik telah diposisikan sebagai dosa yang paling besar, maka tentunya adzab dan bencana yang akan ditimpakan kepada pelakunya pun juga sangat besar. Allah ‘Azza wa Jalla mengancam untuk tidak akan mengampuni pelaku kesyirikan selama dia belum bertaubat ketika meninggal.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa yang di bawah kesyirikan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa’: 48)
Amalan ibadah seseorang yang dikerjakan dengan susah payah dan kesungguhan yang besar akan hilang nilainya dan sia-sialah apa yang dia amalkan tadi dengan sebab kesyirikan yang dia lakukan. Yang demikian itu karena Allah ‘Azza wa Jalla akan menghapus nilai amalan seseorang manakala dia telah berbuat lancang dengan menyekutukan Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah. Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam ayat-Nya (artinya):
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: jika kamu mempersekutukan (berbuat syirik) kepada Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az Zumar: 65)
Dan pada akhirnya, sungguh malang nasib seorang yang berbuat syirik karena tempat tinggal terakhirnya adalah di An Nar (neraka) dan dia kekal di dalamnya karena Allah ‘Azza wa Jalla telah mengharamkan baginya untuk masuk ke dalam Al Jannah sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla firmankan (artinya):
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Al Jannah, dan tempatnya adalah An Nar, tidaklah ada bagi orang-orang yang zhalim itu seorang penolongpun.” (Al Ma’idah: 72)
Dan sebagaimana juga yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُوْ مِنْ دُوْنِ اللهِ نِدٌّا دَخَلَ النَّارَ.
“Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan dia berdo’a (beribadah) kepada selain Allah (sebagai) tandingan / sekutu (bagi Allah), maka dia akan masuk ke dalam An Nar. (HR. Al Bukhari)
2. Durhaka kepada kedua orang tua
Durhaka kepada kedua orang tua diposisikan sebagai dosa besar setelah syirik. Yang demikian itu karena perintah untuk berbuat baik kepada orang tua sering diiringkan dan diletakkan setelah perintah untuk beribadah dan mengesakan ibadahnya tersebut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ini menunjukkan besarnya hak orang tua untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari anak-anaknya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya):
“Dan beribadahlah kalian kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua …” (An Nisa’: 36)
Durhaka kepada kedua orang tua apapun bentuknya merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ …..
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu (yakni orang tua), …” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Ketika kedua orang tua sudah lanjut usia dan lemah, mestinya mereka mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang sungguh-sungguh dari anak-anaknya. Tetapi apa yang terjadi di masyarakat kita justru sebaliknya, mereka menitipkan orang tuanya di panti jompo atau yang semisalnya. Sungguh ini merupakan salah satu bentuk kedurhakaan anak kepada orang tuanya.
Para pembaca yang dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla, masih banyak lagi contoh sikap durhaka anak kepada orang tuanya. Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita berusaha mengamalkan perintah Allah ‘Azza wa Jalla untuk berbuat baik kepada orang tua kita dan menunaikan hak-hak mereka sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at Islam yang mulia ini.
3. Persaksian palsu atau perkataan dusta
Larangan untuk berkata dusta ini telah Allah ‘Azza wa Jalla firmankan dalam ayat-Nya yang mulia (artinya):
“… maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (Al Hajj: 30)
Kalau anda perhatikan ayat tersebut, Allah ‘Azza wa Jalla mengiringkan larangan berkata dusta dengan perintah untuk menjauhi perbuatan syirik dan meninggalkan berhala-berhala yang disembah selain Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa perbuatan syirik merupakan perkara besar yang diperingatkan dalam agama ini, maka perkataan dusta juga demikian, karena tidaklah dua perkara disebutkan dalam satu rangkaian kalimat melainkan di sana terkandung substansi permasalahan yang tidak jauh berbeda, dan dalam pembahasan kali ini adalah keduanya sama-sama perbuatan terlarang yang menyebabkan pelakunya terjatuh ke dalam perbuatan dosa besar. Wallahu A’lam.
Ketika kita membaca Al Qur’an, kita akan mendapati di ayat yang ke 63 dan seterusnya dari surat Al Furqan, di situ disebutkan beberapa ciri hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla yang mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya. Dan di antara ciri dan sifat mereka adalah tidak memberikan persaksian palsu sebagaimana disebutkan dalam ayat yang ke 72 (artinya):
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu.” (Al Furqan: 72)
Para pembaca yang mulia, mengapa dusta yang kelihatannya perkara sepele dan diremehkan oleh sebagian manusia itu, ternyata merupakan salah satu bentuk dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar yang dilarang dalam agama? Mari kita perhatikan pemaparan berikut.
Berkata dusta tergolong dosa besar karena pangkal dari kejelekan dan kerusakan yang dilakukan manusia itu bernuara pada perbuatan ini, karena dusta merupakan amalan yang bisa mengantarkan kepada kejelekan sebagaimana sabda Nabi ‘Azza wa Jalla:
وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُحُوْرِ وَإِنَّ الْفُحُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّاباً.
“Dan sesungguhnya dusta itu bisa mengantarkan kepada kejelekan, dan kejelekan itu bisa mengantarkan kepada An Nar, dan senantiasa seseorang itu berbuat dusata sampai dia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Seorang yang berdusta berarti dia telah melanggar salah satu prinsip penting dalam Islam, karena di antara misi yang diemban Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajarkan Islam adalah menjunjung tinggi sikap kejujuran. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Sufyan ketika ditanya oleh Heraklius (kaisar Romawi ketika itu) tentang pokok-pokok ajaran yang dibawa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
اعْبُدُوا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُوْلُ آبَاءُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ.
“Beribadahlah kepada Allah satu-satunya dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, tinggalkan ajaran-ajaran nenek moyangmu (yang tidak baik, pen), beliau juga memerintahkan kepada kami untuk shalat, jujur, menjaga diri dari perbuatan yang haram, dan menyambung tali silaturrahim.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Para pembaca, balasan apa yang pantas untuk dirasakan kepada orang yang suka berdusta? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermimpi (dan tentunya mimpi beliau adalah benar), di mana dalam mimpi tersebut beliau melihat manusia disiksa dengan siksaan yang beragam sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan. Dan di antara yang beliau lihat adalah sebagaimana yang dituturkan dalam sabdanya (artinya):
“Kemudian kami mendapatkan seseorang yang terlentang, sedangkan di dekatnya ada seorang yang berdiri dengan memegang semacam gergaji dari besi, kemudian ia membelah salah satu sisi mukanya yaitu dari mulut sampai ke tengkuknya, dari hidung sampai ke tengkuknya, dari mata sampai ke tengkuknya, kemudian pada sisi muka yang lain dengan perlakuan yang sama dengan sisi muka yang pertama tadi. Apabila telah selesai, maka muka itu utuh kembali dan apabila sudah utuh maka diperlakukan lagi seperti sebelumnya.”
Pada mulanya beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu apa yang menyebabkan orang tadi disiksa dengan siksaan yang seperti itu. Kemudian dikatakanlah kepada beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam:
وَأَمَّا الرَّجُلُ الّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو مِنْ بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ اْلآفَاقَ.
“Dan adapun seorang yang engkau datangi dan dibelah salah satu sisi mukanya yaitu dari mulut sampai ke tengkuknya, dari hidung sampai ke tengkuknya, dari mata sampai ke tengkuknya, itu adalah seorang yang suka membuat berita bohong sampai berita itu tersebar ke mana-mana.”
Kisah tersebut merupakan potongan hadits yang panjang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari.
Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla menjauhkan kita dan kaum muslimin semuanya dari perbuatan tercela ini.
Menjauhi dosa besar, penghapus dosa kecil
Di antara bentuk kasih sayang Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-Nya adalah dijadikannya amalan kebaikan itu sebagai penghapus dari amalan kejelekan. Setiap amalan shalih yang dikakukan oleh seorang muslim, maka amalannya tadi akan menghapus dosa dan kesalahan yang dia lakukan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya):
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114)
Oleh karena itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
“Dan iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya (kebaikan tadi) akan menghapuskannya.” (HR. At Tirmidzi)
Dan di antara bentuk kebaikan pada diri seorang hamba adalah dia menjauhi perbuatan-perbuatan yang tergolong dosa besar. Lihatlah wahai pembaca, sebatas dia menjauhi dan tidak melakukan dosa besar, sudah terhitung baginya kebaikan yang akan menghapus dosa kecil yang pernah dia lakukan. Inilah bukti rahmah dan kasih sayang Allah ‘Azza wa Jalla yang telah berfirman dalam kitab-Nya (artinya):
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kamu dilarang megerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (Al Jannah).” (An Nisa’: 31)
0 komentar:
Posting Komentar